Puisi-puisi Koran Tempo, 8 September 2013


Puisi-puisi May Moon Nasution

Memburu Sombaon

untuk memburu begu yang ini satu,
aku harus mahir memainkan pedang,

kusiapkan jampi dari jimat keramat batu,
sebab ia bukanlah begu sembarang begu

tak lupa kurapalkan segala mantra dari opung,
kusemburkan ke mata pedang, tujuh kali berulang-ulang

puh puh puh allahu, torangma mata ni pedangon!
puh puh puh kalamullahu, tu dia ho begu Sombaon

(ruh yang menguasai lembah-lembah gunung,
ruas-ruas arus sungai, dan curam jurang-jurang)

telah tegap dan siap tubuh begapku, biar kubekap si begu Somba,
ke ceruk rimba yang puruk, ke pokok yang rukuk ke arah senja

nyalalah api, tajamlah pedang ini! kukomat-kamitkan jampi,
ke lubuk mana kau menyuruk, ke sunyi mana kau sembunyi,
sampai juga kau tikam pedangku, tepat di jantungmu yang berapi

inilah mantra-mantra pengusir begu, allahu allahu allahu tujuh kali,
puh puh puh ke mata pedangku, kalamullahu penutup bibirku

inilah jampi mahapamungkas! pengusir begu yang paling buas,
mantra berasal dari opungku, kuakhiri dengan kalamullahu!

puh puh puh allahu, teranglah mata pedang ini!
puh puh puh kalamullahu, sampai ke sunyi tempat kau sembunyi.

Pekanbaru, 2013



Gasing

berpusing-pusing adalah tugas kami, sampai runcing pantat ini membeling, lantas, atas kuasamulah kami menari, menarikan perih hingga hari merembang

jangan kau tanya kenapa kami bersedih, ulah amukmulah yang biadab, tersebab kau, yang tak lihai memainkan kami, hingga kau tega menghempas tubuh kami sebebas batu

lalu, pecahlah, kepinglah! lantas kami tak lagi bisa menari, menarikan sedih sekalipun

dalam malam-malam panjang, kami senantiasa berdoa, semoga moyang kami tak pernah tumbang, sebab hanya membuat kami gamang, menari di beranda yang lengang, penuh

kerling bintang, yang mengajari kami dengan sinar, bagaimana cara bersabar, menahan debar di dada yang gemetar, memupuk kesetiaan tanpa bantahan, agar tubuh kami tak pernah gegar,

saat kami menghiburmu, dengan runcing pantat kami yang beling, berpusing-pusing tanpa henti, bersedih dengan suara hening, yang tak akan pernah kau pahami dalam bahasa gasing.

Pekanbaru, 2013



Mata Pedang

kau tergegau usai mengigau, bermimpi tentang mata pedang,
yang tertuju pada mata apimu, mata yang menyimpan erang petang

ke sunyi mana kau bersembunyi, ke palung mana kau berselindung,
sampai juga mata pedang, lekat di kulit-kilatmu, sekat di punggungmu,
tempat sekolah ruh berlabuh, yang luruh sebelum rembang membayang

lalu pedang, tak lagi mengegaukan mata, mata yang menyimpan kenangan haru

lalu petang, tak lagi bisa kau habiskan, sekadar merehatkan tubuh yang ringkih, menyeguk segelas kopi, di depan televisi, saat senja mulai menjingkatkan kaki

yang menyiarkan berita tentang maut
yang menyairkan maut di matamu yang akut

tapi mata pedang, tak pernah lupa dengan matamu yang api,
sekalipun kau bersembunyi, di palung-palung paling sunyi.

Pekanbaru, 2013





May Moon Nasution lahir di Singkuang, Mandailing Natal, Sumatera Utara, 2 Maret 1988. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Riau, Pekanbaru. Bergiat di Komunitas Paragraf.

Tinggalkan komentar