Puisi-puisi Koran Tempo, 6 Juli 2014


Puisi-puisi Zelfeni Wimra

antara dua sujud

sujud pertamaku jatuh
di belantara huruf berbaju rindu
dalam kalimat pembuka bukumu
aku menjelma jim, pemantau yang terbuang
dari halaman rumah ibu
sebelum sempat mengada
badan tersungkur ke dimensi beku
ke cakrawala tanpa gerak
tanpa bunyi

apa alasanmu merentang jarak
seakan yang paling hakiki hanyalah perpisahan?

kesepianku ditambah kesepianmu
kepedihanku ditimbun kepedihanmu
kerinduanku ditimbun kerinduanmu
sepanjang kurun dibubuhi asam-garam
hubungan kita telah menciptakan galaksinya sendiri
ruang hampa udara, hampa indera

kau tetap saja merahasiakan diri
bersembunyi di relung gelembung
gelembung nafas yang karam di ujung arus jantung
aku hanya mampu menandai setiap detak rindu yang ragu
memuaskan sejinjing kehendak bersua

sejak kapan kita punya hubungan?

belum sempurna aku menafsir
aku diburu tabiat waktu
meminta satu persatu ingatan
kau justru memberi aku lupa
sehingga rindu kadang luluh menjadi tiada
aku berpusingan mencari ke mana ia menggaib
seperti penyair kehilangan puisi
mencari-cari diksi ke setiap simpang makna
merujuk setiap kesedihan
mengutip pedih luka
di seluruh pustaka, aku hanya menjumpai kalimat
kalimat putus asa
dari akal yang gagal bunuh diri
aku hanya mampu menginjak tapal la ilaha
tak kunjung sampai ke altar ila allah

selepas sujud pertama ini mengurai
seperti sekumpulan sel yang mematikan dirinya
dan memberi kesempatan sel baru menumbuhi tubuh
tak satu jua yang kekal dalam akal
kecuali rajuk bercampur kutuk: ampuni aku, sayangi aku,
selimuti aibku, angkat martabatku,
anugerahi aku benda-benda penghalau sunyi,
buka pintu cinta untukku, maafkan aku
jika tidak begitu, aku akan merugi
jika tidak begitu, aku akan hidup dalam kematian
dan mati dalam kehidupan

pada sujud ke dua, simpuhku sudah bertekuk
pada lilitan rindu di tulang punggung
beban mengembung di segumpal daging
yang entah sampai kapan menggantung di sini
tak kunjung terpahami,
siapa yang semena-mena berenang di alir airnya
air yang telah melautkan penantian

hanyut ke manakah akhirnya diri yang aku sujudkan ini?
memijar ke manakah api yang membakarnya?

pusaran ini memusingkan
aku tidak pandai lagi berdiri
kesendirian membekukan rindu
kerinduan membatukan diri

2014



aku kirim juga akhirnya puisi ini

aku kirim puisi ini kepada debu yang berhamburan
di sela jemari pengasah batu akik
sebagian terbang ke ketiadaan
sebagian menyuruk ke ruang paling rentan
dan orang-orang yang gemar menghias jari percaya,
beginilah cara memaknai luka
yang mencabik tubuh
menguliti diri

aku kirim puisi ini kepada tunas baru sebatang jeruk
daun pendahulu mereka telah habis
disantap ulat yang berencana menjadi kupu-kupu
setelah hujan berkepanjangan
serat kepompong itu membusuk,
ia kini terkulai di cabang berduri

aku kirim puisi ini kepada adik perempuan kembaran
setelah kakaknya kawin dan tidur di kamar pengantin,
ia menyendiri di bilik sunyi, tidur miring ke sisi jendela
menerawang cakrawala di seberang halaman
sejak lahir, apa saja selalu mereka bagi, tapi tidak untuk kali ini

aku kirim puisi ini kepada roda cadangan
yang melekat di pantat mobil jenazah,
ikut serta mengantarkan mayat menuju lahat
di antara para pelayat
dirinya memang tidak sedang berbuat apa-apa
namun tetap sedia menjadi pengganti yang setia

aku kirim puisi ini kepada tungku berabu dingin
sejak penghuni rumah satu persatu menunaikan usia
tidak ada lagi kayu bakar yang rela dilalap api
penghangat ruang dan pematang masakan setiap hari

aku kirim puisi ini kepada sebilah lidah
meskipun tuannya seorang diplomat kelahiran sumatera
tetapi dirinya pasih menggetarkan aneka bahasa eropa
sebab kini memang demikian kehendak bahasa

aku kirim puisi ini kepada pisau dapur seorang janda
sejak laki majikan tiada, dirinya sudah jarang diasah
bawang dan kentang sering mengeluhkan ketumpulannya
sari tubuh mereka akan redam jika disayat dengan mata yang
tidak tajam
inilah kini yang mereka ratapi siang-malam

aku kirim puisi ini kepada titik dan garis frekuensi
yang telah mewarnai layar televisi dengan gambar penghibur lara
lengkap dengan aneka tipu daya
sehingga aku bisa menonton sepak bola
dan lebih sering memikirkan brasilia ketimbang jakarta

aku kirim puisi ini kepada tanda gambar calon presiden
yang robek dikunyah angin dan hujan
setelah pemilu lama berlalu
musim jua yang menumbuhkan lupa
justru ketika ladang-ladang menampakkan buahnya

aku kirim puisi ini kepada bunga kalikanji
yang melekat di gaun perempuan sawah
betapa ia ingin ikut dipungut seperti padi
namun dirinya tetap saja rumput jarum yang sepi

aku kirim puisi ini kepada saudagar koran
aku percaya, pasti ada harganya
bisa dijual pembayar pulsa demi pulsa
dan semoga ia pun bisa duduk bersisian
dengan berita tentang derita

2014





Zelfeni Wimra lahir di Sungai Naniang, Luak Limopuluah, Koto Minangkabau, Sumatera Barat, 26 Oktober 1979. Bergiat di kelompok kajian Magistra Indonesia dan Mantagi Institute di Padang. Buku puisinya (dalam Indonesia dan terjemahan Inggris) adalah Air Tulang Ibu (Pustaka, 2012).

Tinggalkan komentar