Monthly Archives: Oktober, 2013

Puisi-puisi Koran Tempo, 20 Oktober 2013


Puisi-puisi Deddy Arsya

Perjalanan ke Masjid

Tukang khotbah itu bersorak setiap hari
suaranya serupa suara adzan yang tercekik
pada kalimat awal jam lima pagi

Adakah yang lebih merdu dari gerutu-Mu?

Uda, kenapa kau malas sembahyang?
sebab rakaatnya terlalu banyak, kataku
manusia bersorak-sorak:
aku hamba, hamba lata, ya Ta’ala!
sementara Tuhan tidur-tiduran saja

Aku tak suka Tuhan yang diseru dari bawah

Uda, pergilah ke masjid sembahyang berjamaah
sekalipun dingin cuaca bikin tulangmu bagai rengkah jangatmu
aku akan tinggal saja di rumah, kataku!
Tuhanku hanya ada sedikit di bawah telingamu

Mari kuciumi pangkal kudukmu

Kelelawar gelap besar turun itu dari kubah masjid
tukang khotbah mati gantung diri kemarin petang
putus asa dan cinta datang bergantian seperti suara azan
dan lenguh hasrat tak tertahankan?

Uda, jangan ucapkan yang bukan-bukan…



Sapi dari Kitab Suci

Sapi betina yang terbang
dari dalam kitab suci kalian itu
menggoyang-goyangkan ekornya
mengusir lalat-lalat besar yang berdengung
dalam ritme cepat
kau nyalakan obor api lebih lama
hendak bersitatap dengan matanya yang besar bulat
“kami, sepertimu juga, ingin mencapai fana!”

Tapi kegelapan menyekapmu lebih dalam
kini kau meraba-raba kehampaan
—kini kau menuju awal kebutaan!

Sapi betina yang luka pada pantat
menggoyang-goyangkan telinganya
yang kempis-kembang bagai hasrat pada kerampang
dia terpancang pada tambang
hingga larut malam
di padang-padang kuning
dikebat gelap begini lindap
kau tinggikan obormu ingin menangkap
“wujud, wujudmu, kami hendak!”

Tapi apa beda buta dan melihat
dalam gelap yang begini pekat?

Sapi betina itu tak menjawab
hanya klenong genta pada lehernya
yang terdengar ribut sampai ke sini
ke dalam sajak ini
lebih seperti gemerincing dari bisik sunyi
kau mengira itu takwil mimpi-mimpi
atau isyarat tafsir yang pasti
padahal sungguh hanya gerutu
dari dia yang terikat
tali sendiri





Deddy Arsya lahir di Bayang, Pantai Barat Sumatera, 15 Desember 1987. Kumpulan sajaknya, Odong-odong Fort de Kock (2013).

Puisi-puisi Koran Tempo, 13 Oktober 2013


Puisi-puisi Mardi Luhung

Nyonya Rumah

Barangkali dia ada di dapur. Meracik bumbu. Meniris kangkung. Menggoreng telur. Dan sesekali membetulkan kompor gas. Agar apinya sedang. Tidak rewel. Apalagi ngadat.

Barangkali dia merendam cucian. Di dalam bak biru. Memilah yang putih dan berwarna. Dan tak lupa sedikit ngomel: “Tentang aku dan anak-anak yang tak bosan ganti baju.”

Barangkali dia membentangkan kain jahitan. Memasang mal.
Menghitung lekuk untuk leher dan ketiak. Dan berangan: “Betapa elok, jika kerlip kepik di kebun bisa jadi pengganti kancing.”

Barangkali dia mencari di mana sapu dan kemoceng berada.
Seperti si tersesat yang mencari arah balik. Sebab, merasa, debu dan jejaring laba-laba selalu menangkup sembrono di pojok-pojok.

Barangkali dia menatap almanak. Menandai hari besar, juga hari kecil. Dan tagihan mana yang sebentar lagi tiba, sebentar lagi lewat. Terus kapan mesti berhemat. Kapan lagi sebaliknya.

Barangkali dia ketika malam terjaga. Meneliti pintu, jendela dan
kran air yang masih renggang. Dan ketika sampai di kamar anak-anak, pun menghitung jumlahnya. Jangan-jangan belum genap.

Barangkali dia yang selama musim hujan mengguyur, sigap menadahkan ember di bawah genting yang bocor. Bunyinya cik-cik-cik. Dan saat itulah aku ingat:

Jika dulu, dia punya sepasang sayap tipis di punggung. Dan kini, sayap itu dilipat rapi di kolong ranjang. Sayap yang tabah. Meski rindu pada lembah, matahari dan debar ricik sungainya.

(Gresik, 2013)



Tangga

Lelaki belia itu tidur di kursi. Di lantai, puisi-puisi saling telungkup.
Dan lima biji pikiran seperti menanti. Menanti di pagar-bata disemen rapat. Ya, di tengah hujan yang turun, aku dengar ada yang melintas. Suaranya lembut tapi murung. Seperti, seperti, berkebat menuju utara.

Lalu, bapak yang tak mati-mati mengetuk pintu. Di atas kepalanya ada bulatan terang. Sedang di sampingnya, siapa yang selalu mencatati geraknya itu? Kami: lelaki belia, aku, puisi, lima biji pikiran, pelintas, bapak dan pencatat saling tak bertegur. Kami asyik dengan jalur-jalur
yang memisah.

Dan di luar semuanya ini: mengapa selalu ada yang bertanya
tentang batas? Tentang Eden, kesenangan dan bualan yang seperti mengambang? Kami memang terlanjur tergoda. Dan kami menyukainya. Seperti saat kami bugil di muka pasar. Dan semua penawar yang ada saling melengos.

Seperti saling mencoba untuk menghapus keadaan kami.
Lalu menyergah: “Kami tak mengintip kalian. Kami cuma merasa, ada jalan lain mencapai sana.” Seperti tangga yang terus terulur. Yang bahannya dari apa yang tak mempan kami beli. Dan bermekaran di bulu roma!

(Gresik, 2013)





Mardi Luhung tinggal di Gresik. Buku puisinya Buwun (2010) mendapatkan Khatulistiwa Literary Award. Kumpulan cerita pendeknya, Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011).