Category Archives: Tjahjono Widarmanto

Puisi-puisi Koran Tempo edisi 5 April 2015


Puisi-puisi Tjahjono Widarmanto

TAN (1)

sejak kanak-kanak aku selalu membayangkan
sebagai pengelana jauh yang tak butuh tubuh
tak pernah berencana kapan saat pergi
tak pernah mencatat kapan akan datang

sejak dilahirkan sebagai bayi aku tak pernah takut pada mati
sebab malaikat maut selalu duduk di pinggir ranjangku mendongeng
tentang kisah cinta romantik atau kisah para koboi
melecut kuda meringkik di padang sabana sambil menjentikkan pistol

sejak akrab berkawan dengan gelap petang dan malam
aku menjelma bayang-bayang beterbangan tak butuh tubuh
sebab tubuh tak sanggup penjarakan jiwa seperti anggapan orang dungu itu
yang menerka penjara bisa meringkihkan hasrat

tak ada malam yang kutakutkan setelah jadi kawan
mencatatkan apa yang mereka sebut: revolusi
padahal bagiku itu sekadar permainan petak umpet belaka

telah kutanggalkan tubuh yang tak lagi kubutuh
sebab itu aku hanya melengos tak peduli
saat kalian akan menanam jasadku di bawah pohon-pohon pisang
atau di dasar comberan sekalipun
: kalian terlalu dungu berharap warna merah jadi hitam di lumpur.

sejak aku tak butuh tubuh, aku paham
sejarah selalu lamban dan terlambat mencatat peristiwa!



TAN (2)

penjara-penjara itu hanya cangkang
yang tak bisa mengubah putih telor jadi hitam
tak bisa mengubah tumbuh sayap
tak sanggup jadi tirai penghalang mata nyalang

letup senapan dan panas mesiu
telah memahatmu dalam sejarah
walau kuburmu tanpa nisan
mustahil kaburkan ingatan

segenap aksara tak cukup menuliskannya
namun di setiap ingatan
kau telah pancangkan lonceng besar
berdentang menggelisahkan tidur panjang.



TAN (3)

kusimak bau rerumputan, semak dan lumpur tanah
sebab dari sanalah bisa dihafal kembali sejarah
yang lolos dari pengetahuan anak-anak sekolah
dan tak satu pun tukang kaba atau juru cerita meriwayatkan
sesuatu yang hilang sebelum sempat diberi nama

aku sudah mencoba menyapa kusno
: “terimalah warisan ini, lenguh dan derap langkah.”

tetapi mereka terlalu banyak mengeluh dan mencatat
lalu bermimpi bahwa revolusi bisa berjalan damai dan perlente

mereka juga tak pernah tahu
kompas yang patah jarumnya itu
telah kusimpan di saku celana

dan, betapa bodohnya mereka
saat mendekati senja di dingin yang ganjil
meletupkan pistol dan menguruk tubuhku

kompas yang patah jarumnya
yang kusimpan di saku celana itu
turut dihisap lumpur

mulai saat itulah, mata mereka yang dekil
tersuruk kehilangan mata angin.



Tjahjono Widarmanto lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menetap di kota kelahirannya dan bekerja sebagai guru. Buku-buku puisinya antara lain Kitab Kelahiran (2003) dan Umayi (2012).