Puisi-puisi Koran Tempo, 1 September 2013


Puisi-puisi Ramon Damora

Anai-anai

kau adalah puisi tak kumiliki
sejak alismu teratur
bagi segala kehancuran

kau sayap embun yang mahir
menyamarkan air mata
dari incaran mahasurya

kau pohon seluruh mohonan kasih
sebelum terbujuk gergasi

tapi kau dalih untuk memilih
di didih doa yang mana
puing-puingmu kunamakan
atau ke putih dosa nan apa
hiruk-pikukmu kuapikan

suatu waktu di musim panas
bila daun-daun ingatan
mulai terhempas ke tanah
lekaslah kau urai aku
menjadi ciuman-ciuman
yang menepis punah

saat tiada kau suakan lagi
kayu hari untuk menggigit rindu
kau tahu aku terbersit di sini
dalam lemari penuh kitab tubuhmu

tubuhmu yang lampau
ketika semua yang tak kumiliki
masih
kau

2013



Air Mancur

air mancur depan masjid, tempat berkumur kanak-kanak ikan yang pipinya belum sempat ditempeleng bulan. binatu bagi binatang dan bintang-bintang, yang piatu. di sinilah, dahulu ibu mencuci kecundang cintanya dengan tangan parau jeritkan Engkau, sebelum semua jenis air mata meneteskan ia kembali ke kelambu lebuh, setitik setitik, sampai maut bosan menjentikkan jari, sampai hari itu, saat terakhir kalinya ibu menatapku dengan senyum dan kaki telanjang, lalu menghilang di kelok selokan. padahal belum lama aku ia lahirkan dengan leher sepanas lahar, kehausan oleh sepasang susu malaikatnya yang terperangkap dalam tubuh seorang pelacur senja sejak itu air mancur di halaman masjid setia mengasuhku kadang ditariknya benang-benang azan dari kain langit coba menjahit mimpinya menjadi hujan, agar aku tak kekeringan sesekali pula, terhadap burung-burung gereja yang singgah di tebing kubah, ia mengenalkan aku, sebagai semacam awan yang kelak mungkin akan memandu mereka memandang mendung di masa tua. selebihnya adalah apa yang kalian dengar: di bawah air mancur depan masjid, antara hantu ibu dan Tuhan itu aku mati berselekeh darah, tertangkap basah mencuri sandal

2013



Dengan Dobby

dengan dobby aku berdua
duduk mencangkung kebiri kahlua
minuman selembut bulan
di loteng-loteng jiwa

terbayang kami barista tadi
tubuhnya molek tersangkar
milik mata seorang istri
dan payudara seorang pacar

aku minum untuk memangkah masa lalu
dobby demi menahan kenangan

di luar lampu-lampu lebat
membuat hujan terpojok
bagai tiada lagi seronok malam esok

rumputan basah lama parkiran
selendangi kami benalu perpisahan

dobby kencing kencang-kencang
(“aku sedang terapi prostat”)
aku muntah diam-diam
mengusung rindu dendam

dalam mobil yang menggasing
kami eram matahari masing-masing
dan wiper kaca depan kereta
menyeka lendiri duka, dukana

dengan dobby aku berdua, selalu
kadang sesuatu jadi bagian dirimu
mau tidak mau

2013



Tanjungpinang

dalamnya kedai menanam majenun
gugur jua ampas mimpi selamun
termasyhur negeri pengayuh pantun
baru sampiran dan jadi penyamun

kerakap jerih meringkus papan
papan suasa balakan bentan
menganggap diri utusan gurindam
dibingkas kuasa langsung terpadam

mentelah pari ke hati selat
manyar menyingsing kerah purnama
taatlah kami meniti penyengat
hanya mengulang ziarah air mata

alun-alun pawai yang lewat
riasan jantung budak-budak peminta
konon piawai mengangung adat
kiranya gelembung datuk semenjana

puisi palsu mendekap dikau
majas rendah lambang sedikit
ngeri bisu menatap huluriau
raja terwabah tambah bauksit

2013





Ramon Damora lahir di Muara Mahat, 2 April 1978. Menyelesaikan kuliah di Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah IAIN Sultan Syarif Qasim, Pekanbaru. Buku puisinya Bulu Mata Susu (2008) beroleh Penghargaan Bulang Linggi dari Dewan Kesenian Kepulauan Riau. Menetap di Batam.

Tinggalkan komentar