Puisi-puisi Koran Tempo, 15 September 2013


Puisi-puisi Ramoun Apta

Kerupuk Tiga Seribu

cintaku kerupuk tiga seribu.
cintamu minuman segar sepuluh ribu satu.
tetapi, di toko ini, kerupukku berjumlah hanya dua puluh satu.

seperti ingin melepas tali gantungan
yang tertambat erat melilit leher
hingga kelupas menampakkan putih tepungku
begitulah aku berhasrat menenggak kejernihanmu.

hasrat yang membuatku terkadang
ingin meremukkan diri
sampai riuh menjadi sarapan pagi
kawanan ikan yang merapat di tepi.

kalau saja si pembeli gendut buntalan kentut itu tidak bermain mata
menawar harga sampai lego ke dasar paling rupiah
sungguh aku baru mampu membayar dua pertiga cintamu.

sementara, semenjak peristiwa kekeringan itu, kini
kau menolak memperhutangkan lagi satu pertiga cintamu.



Emping Melinjo Lisut

kerupuk belida yang lima puluh per kilo itu
mungkin hanya bisa kau hidu, hanya bisa kau tatap sepenuh lapar
sebab aku hanya sebungkus kerupuk biji melinjo buruk.

nasibku di tiang gantung
yang tanggung sebagai tempat seleramu bergayut
berada sekadar menunggu haru akan melisut.

seperti udang kering yang membau mengkudu
tetapi diangin-anginkan jua agar tercium harum dan baru
oleh pembeli miskin itu, oleh penuba tikus buntung itu,
begitulah si tuan penjual memaniskan bungkusanku.

aku yang kau beli segarga seperempat liter minyak tanah
di pasar-pasar tradisional serba murah ini
jangan harap mampu menjangkau kerupuk ikan itu
sebab aku hanya diberi bumbu
sekadar pemanis di pangkal gigimu.



Jeli Sepuluh Batang Lima Ribu

aku jeli sepuluh batang lima ribu. aku dibalut aneka buah
yang disarikan ke dalam tulangku. jika kau sungkah aku
dingin-dingin, sedingin ngilu di pangkal gigimu, maka
aku mampu menggebuk dahagamu yang leher lembu itu
hingga pecah bagai dahak yang kau lepas di siang tegak.
jika sari buah jeruk itu kau sumbat ke dalam batang tulangku
yang sebening embun pagi, maka aku akan menjadi jeli
batang kuning yang akan menjuluk haus di lekuk jakunmu.

saat kau berpuasa di bawah siang yang tinggi, dan lehermu
mengeriput, dari keriput itu tenggorokanmu menimbulkan
garis-garis luka, yang akan meradang sampai
batas kesadaranmu menampilkan bayang-bayang,
maka sajikanlah aku dalam menu buka puasamu.
sebab pada saat itu kau akan tahu bagaimana caraku
melepaskan sesak di tenggorokanmu.





Ramoun Apta lahir di Muara Bungo, Jambi 26 Oktober 1991. Sedang belajar di Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang.

Satu tanggapan

  1. Ngak jelas gan …

    Suka

Tinggalkan komentar